Kamis, 06 Juli 2017

Sembilu

Khayalan embun berada pada satu perahu bersama mu menjadi nyata.. Kau adalah nahkoda baginya.. Menyusuri ujung dunia berdua menjadi cita-cita yang tak terbendung. Meskipun sedikit tergiur pada perahu yang mewah dan menjajikan di dermaga persinggahan, tak goyah baginya menginjakkan kaki kembali diperahu mu.. Berlayar kembali dengan berbekal keyakinan dan kebersamaan.. Menepis segala badai, embun selalu yakin pada nahkoda bahwasaannya brsama nahkoda disisinya, bahagialah yang ia gapai. Tak urung, embun semakin memupuk harapan besar untuk tetap tinggal dan menghabiskan waktunya di perahu kusut dan lusuh bersama nahkoda.. Walaupun kenyataanya tak beda sang nahkoda menganggap dirinya seperti penumpang lain, yang akan segera turun di dermaga tujuan.. 

Embun masih saja terbang bersama khayalan yang dibangunnya.. Terlelap dalam mimpi bahagia yang dibuatnya.. Hingga pada suatu waktu, terbangunlah dia.. Menyaksikan kapalnya nan jauh di pelupuk mata, yang lambat laun mengecil; semakin mengecil dan hilang ditelan langit dan birunya laut. Sepasang bola matanya mendelik, sontak menyadari sosok embun lain mendekap nahkoda erat. Tanpa sadar , embun merasakan hujan menetes diatas pipi tambunnya.. Semakin lebat hujan mengalir, hingga membasahi selaksa sukmanya.. Terasa sesak, oksigen serasa menghilang. Begitu sulit baginya untuk membuka mata.. Hingga akhirnya kenangan, harapan, dan khayalan tentang nahkoda bermain dengan indahnya di ubun-ubun; membuatnya semakin teriris.. Bahkan perihnya lebih dari diiris sembilu..

Embun masih meringkuk sambil memeluk lutut dengan ditemani ombak dan angin yang seakan menertawakannya. Matahari seakan paham rasanya, ia bersembunyi dibalik awan. Tak tega menatap wajah embun kala itu.. Sementara angin dan ombak semakin riak bergelut dan menertawakan tawa riang embun yang lenyap. 

Seketika semesta senyap menyaksikan embun mendongakkan kepalanya, disambut gelak tawanya yang tiba-tiba meledak membangunkan dan membingunkan penghuni jagat raya.. Alam semesta merasa senang tatkala embun mampu tertawa kembali. Embun kembali menjadi dirinya yang semula periang. Namu, hanyalah embun yang memahami perasaannya sendirin. Dibalik tawanya yang menggelegar terselip rasa penyesalan yang mendalam. Pada akhirnya embun menyadari, bahwa diri sendiri yang menancapkan sembilu dihatinya..

Jenuh diujung peluh

sudahkah merasa jenuh? sudahkah mengeluh? apakah keluh mu mengobati jenuh mu? apakah jenuh mu akan selalu bersemayam diantara resah mu?

ketika fajar menjemput, langit malam melepas jubahnya beralih dengan lebih berwarna sembari tertawa.. namun, ada relung hati yang kosong melompong menunggu untuk diisi.. seketika itu pula,  jenuh menyerbak di pangkal pagiku.. meretas semangatku, meredamkan api gairah kerjaku yang telah beberapa saat menyala-nyala. Entah apa yang menghantamku disaat  terlelap. Pagiku serasa pahit, menyadari bahwasannya ini bukan lagi pekan dari minggu yang sedikit melegakan. gaduhnya gelak tawa diantara kawanan anak muda lambat laun menjauh dan akhirnya lenyap hilang ditengah malam rapuh.. 

genggaman tangan semakin erat, pelukan kami tak ingin lepas.. seakan tak rela kembali dipangkuan penatnya rutinitas yang mengorbankan rasa dan tenaga.. ingin sekedar berlari menjauh, ataupun berdebat dengan mentari, memohon jangan cepat berlari.. jangan cepat berganti hari.. karena hati kami masih ingin saling menyirami dan menyinari.. namun , kenyataanya lebih dari sekedar berlari.. kami harus menerima bahwa penghujung hari telah kembali..

Hat yai, 06  Juli 2017